Oleh: Abu Ammar al-Ghoyami
Nafkah
 istri atau sering disebut ‘uang belanja’ ternyata memiliki peran yang 
cukup apik bagi banyak pasutri. Ia juga berperan aktif dalam menopang 
kokohnya bangunan rumah tangga. Bagi suami yang bertipe laki-laki sejati
 yang bertanggung jawab akan mudah baginya memenuhi kebutuhan keluarga 
dengan cara halal lagi baik, sehingga akan membahagiakan istri dengan 
memenuhi hak-haknya.   Di sisi lain, ada istri yang bertipe tak tahu 
diuntung, tidak lagi peduli dengan apa yang harus dia lakukan dengan 
nafkah pemberian suaminya, maka petaka pun tak kuasa dihindari dan badai
 pun mengguncang biduk yang sedang berlayar di tengah samudra.
Cekcok terjadi, maudhu’ (tema)-nya 
“belanja keluarga”. Yang dipermasalahkan, pada umumnya bukan perihal 
suami yang tidak sedikitpun memberi istri belanja keluarga, namun 
tentang sedikitnya jumlah belanja yang diberikan sementara kemampuan 
suami sangat terbatas dalam memberi nafkah yang mencukupi, juga karena 
tuntutan istri kepada suaminya meminta uang belanja yang lebih besar 
jumlahnya serta tidak merasa cukup dengan nafkah yang wajar dan sesuai 
dengan keadaan. Hal-hal inilah yang mengakibatkan timbulnya keluhan dan 
benturan dalam kehidupan pasutri.
Sebagaimana dikisahkan dalam sebuah riwayat:
Dari Asma’ rodhiallohu’anha, dia berkata: “Aku berkata kepada Nabi 
shollallohu ‘alaihi wassallam: ‘Sesungguhnya saya tidak memiliki sesuatu
 kecuali apa yang Zubair berikan kepada saya (tatkala dia mempersunting 
saya), maka saya mengambil sebagian hartanya.’ Beliau bersabda: ‘Ambil 
dan belanjakanlah tetapi jangan curang sehingga kecuranganmu akan 
mempersulitmu.’” 
(Hadits shohih, an-Nasai dalam Sunan Kubro 5/378/9192)
(Hadits shohih, an-Nasai dalam Sunan Kubro 5/378/9192)
Cermatilah Faktor Penyebabnya
Jika kita cermati kehidupan pasutri dari sebelum pernikahan hingga mereka halal hidup bersama, akan kita dapati latar belakang mereka berbeda-beda. Tentu saja kita memaklumi bahwa suami yang latar belakang kehidupannya biasa-biasa dan pas-pasan tidak layak dituntut memberikan belanja kepada istrinya yang melebihi kesanggupannya yang hanya pas-pasan itu. Di sisi lain, kita juga memaklumi apabila istri yang memiliki latar belakang kehidupan serba kecukupan, bahkan melebihi kebutuhannya, berbeda nafkahnya dengan istri yang latar belakangnya terbiasa hidup pas-pasan.
Latar belakang sosial yang berbeda-beda ini hanya satu faktor penyebab konflik keluarga seputar belanja. Ada pula beberapa faktor lain, seperti sifat istri yang berlebihan dalam membelanjakan nafkah suaminya atau sifat kikir suami terhadap istrinya. Semua itu harus dicermati lalu diperkecil dan bahkan harus ditiadakan pengaruhnya agar tidak menimbulkan konflik yang lebih besar dalam keluarga.
Jika kita cermati kehidupan pasutri dari sebelum pernikahan hingga mereka halal hidup bersama, akan kita dapati latar belakang mereka berbeda-beda. Tentu saja kita memaklumi bahwa suami yang latar belakang kehidupannya biasa-biasa dan pas-pasan tidak layak dituntut memberikan belanja kepada istrinya yang melebihi kesanggupannya yang hanya pas-pasan itu. Di sisi lain, kita juga memaklumi apabila istri yang memiliki latar belakang kehidupan serba kecukupan, bahkan melebihi kebutuhannya, berbeda nafkahnya dengan istri yang latar belakangnya terbiasa hidup pas-pasan.
Latar belakang sosial yang berbeda-beda ini hanya satu faktor penyebab konflik keluarga seputar belanja. Ada pula beberapa faktor lain, seperti sifat istri yang berlebihan dalam membelanjakan nafkah suaminya atau sifat kikir suami terhadap istrinya. Semua itu harus dicermati lalu diperkecil dan bahkan harus ditiadakan pengaruhnya agar tidak menimbulkan konflik yang lebih besar dalam keluarga.
Harus Dipahami Bersama
Untuk menanggulangi masalah perlu ada kepahaman pasutri terhadap beberapa pokok yang mendasari kehidupan berkeluarga.
Untuk menanggulangi masalah perlu ada kepahaman pasutri terhadap beberapa pokok yang mendasari kehidupan berkeluarga.
Pertama, bahwasanya pemberian nafkah kepada istri merupakan kewajiban yang sangat nyata bagi para suami. Alloh menyatakan hal ini dalam firman-Nya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Alloh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…. (QS. an-Nisa’ [4] : 34)
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah 
hadits dari Hakim bin Mu’awiyah al-Qusyairi dari bapaknya berkata: Aku 
bertanya: “Ya Rosululloh, apa saja hak-hak istri salah seorang di antara
 kita yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ 
وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ
 وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ.
“Kamu memberinya makan bila kamu 
makan dan kamu beri pakaian bila kamu berpakaian dan jangan memukul 
wajahnya dan jangan pula kamu menjelek-jelekkannya dan jangan kamu 
memisahinya dari tempat tidurnya melainkan (kamu juga tetap tidur) di 
rumah.” 
(Hadits shohih, Abu Dawud: 2142 dan Ahmad 4/447)
Oleh karena itu, istri berhak meminta 
belanja kepada suaminya, di antaranya berupa makan, minum, maupun 
pakaian, sementara suami tidak boleh menolak hak istrinya tersebut dan 
dia harus membelanjakan hartanya untuk memenuhi hak-hak istrinya, sebab 
demikianlah yang telah ditetapkan oleh Alloh dan Rosul-Nya.
Kedua, bahwasanya kewajiban suami 
memberikan belanja kepada istri tidak ditetapkan batasannya selain 
“dengan cara yang ma’ruf”. Perhatikan firman Alloh Ta’ala berikut:
…. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (QS. al-Baqoroh [2]: 233)
Dalam ayat tersebut Alloh menetapkan 
batasan nafkah sandang dan pangan bagi istri atas suami dengan batasan 
ma’ruf. Artinya dengan cara yang paling patut menurut tradisi yang baik 
dan sesuai kesanggupan suami.
Terkadang masalah timbul ketika seorang suami memberikan batasan tertentu untuk anggaran belanja kebutuhan tertentu. Timbulnya masalah bukan lantaran dianggarkannya kebutuhan tersebut, melainkan karena besarnya anggaran tidak patut/sesuai dengan sikon yang baik. Hal ini harus dipahami oleh para suami.
Terkadang masalah timbul ketika seorang suami memberikan batasan tertentu untuk anggaran belanja kebutuhan tertentu. Timbulnya masalah bukan lantaran dianggarkannya kebutuhan tersebut, melainkan karena besarnya anggaran tidak patut/sesuai dengan sikon yang baik. Hal ini harus dipahami oleh para suami.
Adapun para istri, mereka hendaknya mengambil pelajaran dari kisah dalam hadits berikut:
Dari Aisyah rodhialluhuanha bahwa Hindun bintu ’Utbah berkata: “Ya Rosululloh, sesungguhnya Abu Sufyan adalah tipe laki-laki kikir dan tidak memberi saya nafkah yang memadai untuk diri saya dan anak saya kecuali yang saya ambil dari sebagian hartanya dan dia tidak mengetahuinya.” Nabi mengatakan: “Ambillah sebagian hartanya untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara ma’ruf, yang patut.” (Muttafaqun ’alaih)
Dari Aisyah rodhialluhuanha bahwa Hindun bintu ’Utbah berkata: “Ya Rosululloh, sesungguhnya Abu Sufyan adalah tipe laki-laki kikir dan tidak memberi saya nafkah yang memadai untuk diri saya dan anak saya kecuali yang saya ambil dari sebagian hartanya dan dia tidak mengetahuinya.” Nabi mengatakan: “Ambillah sebagian hartanya untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara ma’ruf, yang patut.” (Muttafaqun ’alaih)
Yang Seharusnya Dilakukan
Dari kedua hal pokok di atas, hendaknya para suami tak perlu ragu-ragu bekerja keras untuk memberikan nafkah sandang dan pangan yang cukup buat istri sesuai dengan kesanggupannya. Hendaknya sang suami merasa terhormat manakala mampu menafkahi istri dalam jumlah yang cukup menurut kadar kemampuannya, sebab dengan ini berarti ia telah membelanjakan hartanya yang paling utama. Rosululloh bersabda:
Dari kedua hal pokok di atas, hendaknya para suami tak perlu ragu-ragu bekerja keras untuk memberikan nafkah sandang dan pangan yang cukup buat istri sesuai dengan kesanggupannya. Hendaknya sang suami merasa terhormat manakala mampu menafkahi istri dalam jumlah yang cukup menurut kadar kemampuannya, sebab dengan ini berarti ia telah membelanjakan hartanya yang paling utama. Rosululloh bersabda:
أَفْضَلُ دِيْنَارٍ دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ 
الرَّجُلُ عَلَى عِيَالِهِ وَدِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى 
دَابَّتِهِ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَدِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى أَصْحَابِهِ 
فِي سَبِيْلِ اللهِ.
Dinar yang paling utama adalah yang 
dinafkahkan seorang suami bagi keluarganya, dan yang ia nafkahkan bagi 
tunggangan untuk jihad di jalan Alloh, dan yang ia nafkahkan untuk 
sahabat-sahabatnya dijalan Alloh. Hadits shohih, an-Nasa’i dalam sunan kubro: 5/376/9182
Nah, ini berarti suami seharusnya bersifat penderma, dan bangga sanggup bermurah hati kepada istrinya.
Sedangkan para istri, hendaknya mereka tidak menuntut nafkah belanja keluarga—sandang, pangan, maupun kebutuhan keluarga yang lainnya—secara berlebihan. Hendaknya dia hanya menuntut sebatas kewajaran dan sebatas apa yang umum terjadi di tengah kehidupan manusia. Dan harus diingat apa yang telah Alloh dan rosul-Nya tetapkan, bahwa batas kewajiban yang harus suami tunaikan kepada kalian adalah bil ma’ruf saja, seandainya istri dibolehkan menuntut dalam jumlah tertentu menurut syari’at, tentunya Rosululloh n akan menyuruh Hindun mengambil dengan “jumlah tertentu” tersebut dari harta suaminya, namun hal itu tidak beliau lakukan. Berarti kewajiban istri atas hak-hak yang diterimanya adalah mensyukuri meski seberapapun yang telah ia terima dengan cara yang ma’ruf.
Akhirulkalam, semua ini membuahkan sebuah kesimpulan bahwa kebahagiaan pasutri berkenaan dengan uang belanja ada pada kemurahan hati suami dan banyak bersyukurnya istri. Wallohu A’lam.
Sumber Majalah al Mawaddah
Sedangkan para istri, hendaknya mereka tidak menuntut nafkah belanja keluarga—sandang, pangan, maupun kebutuhan keluarga yang lainnya—secara berlebihan. Hendaknya dia hanya menuntut sebatas kewajaran dan sebatas apa yang umum terjadi di tengah kehidupan manusia. Dan harus diingat apa yang telah Alloh dan rosul-Nya tetapkan, bahwa batas kewajiban yang harus suami tunaikan kepada kalian adalah bil ma’ruf saja, seandainya istri dibolehkan menuntut dalam jumlah tertentu menurut syari’at, tentunya Rosululloh n akan menyuruh Hindun mengambil dengan “jumlah tertentu” tersebut dari harta suaminya, namun hal itu tidak beliau lakukan. Berarti kewajiban istri atas hak-hak yang diterimanya adalah mensyukuri meski seberapapun yang telah ia terima dengan cara yang ma’ruf.
Akhirulkalam, semua ini membuahkan sebuah kesimpulan bahwa kebahagiaan pasutri berkenaan dengan uang belanja ada pada kemurahan hati suami dan banyak bersyukurnya istri. Wallohu A’lam.
Sumber Majalah al Mawaddah
