Dan adapun terhadap nikmat-nikmat dari Robb-mu, maka ceritakanlah.
(QS. adh-Dhuha [93]: 11)
Sebagai seorang hamba yang amat fakir dan
sangat membutuhkan pertolongan-Nya kami takut tertimpa riya’, ujub atau
bangga diri. Akan tetapi, sebagai hamba yang senantiasa diberi curahan
nikmat oleh Alloh , limpahan rezeki-Nya, petunjuk dan hidayah-Nya,
pertolongan dan belas kasih-Nya; maka kami akan ceritakan salah satu
nikmat tersebut.
Impian yang indah adalah sebuah
kenikmatan, lebih-lebih jika impian itu menjadi kenyataan. Sekitar empat
tahun silam kami bercita-cita untuk tholabul ilmi (menuntut ilmu agama)
dengan lebih intensif, yaitu dengan ‘mondok’ di sebuah pesantren.
Sebenarnya jauh sebelumnya keinginan itu sudah ada, sebab kami menyadari
betapa bodohnya diri ini terhadap dienulloh (agama Alloh) yang agung
ini.
Kami (ana dan juga istri) dilahirkan
bukan dari lingkungan yang agamis apalagi salafi. Masa muda kami habis
untuk mempelajari pelajaran yang sekarang kurang kami rasakan
manfaatnya, mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi. Namun alhamdulillah,
segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam, Alloh berkehendak untuk
memberi hidayah kepada kami. Kami mengenal salafi ketika kami sudah
memiliki dua anak. Kami ikuti kajian salaf dari masjid ke masjid dan
membaca buku-buku bernuansa Islami. Betapa kami telah menemukan
keagungan dan keindahan Islam yang sempurna ini, dan kami merasa semakin
bodoh dan fakir dalam ilmu dien ini. Terbayang dalam pikiran seandainya
masa muda bisa kembali, kan ku pelajari semua ilmu dien ini.
Tapi, tiada yang perlu disesali. Ilmu
bukanlah hak kaum muda saja, kami terus berusaha tholabul ilmi
semampunya sambil mengurus keluarga. Impian untuk bisa intensif belajar
agama seperti ketika mempelajari pelajaran umum di bangku sekolah dulu
tidak bisa terhapus dalam benak ini. Tapi apa hendak di kata, anak sudah
empat, dengan bekerja pagi-sore saja penghasilan pas-pasan untuk biaya
pendidikan anak-anak. Bagaimana lagi jika mondok???
Do’a. Ya, do’a. Itulah senjata paling
handal seorang muslim. Kami meminta kepada Dzat yang Mahakaya dan Maha
Berkehendak. Setelah itu alhamdulillah, Alloh ilhamkan kepada kami
sebuah ide bagus untuk merealisasikan impian kami itu. Apa gerangan?
Syirkah (persekutuan/kerjasama antara
pemodal dengan pengelola). Kami mengajak dua orang semanhaj yang
bercita-cita sama untuk membangun sebuah bisnis atau syirkah, yang
nantinya bila sudah dapat dipetik hasilnya akan kami gunakan untuk
membiayai secara bergantian salah satu keluarga di antara kami untuk
mondok sekeluarga dengan biaya sepenuhnya oleh perusahaan tersebut.
Kenapa kami memilih cara ini? Dengan
syirkah kita akan lebih selamat dan hati-hati, tidak sembarangan dalam
memakai uang karena bukan milik pribadi. Selain itu, memungkinkan bagi
kita untuk saling bergantian dalam mengelola usaha maupun dalam tholabul
ilmi nantinya. Di sisi lain, kita akan dapat lebih sabar dan ulet dalam
menjalankan usaha terutama saat-saat krisis di awal-awal usaha. Kita
tanggung bersama suka dan duka.
Tekad semakin bulat. Dengan modal yang
amat kecil kami bertiga merakit bisnis. Mengingat kami masih awam dalam
dunia usaha, maka kami beli buku-buku dan majalah-majalah bisnis untuk
bekal awal. Selain itu, kami juga sering mendatangi pengusaha-pengusaha
yang sukses untuk berkonsultasi.
Awalnya bisnis kami mengalami
kebangkrutan, kemudian dengan pertolongan-Nya, Alloh ilhamkan kepada
kami sebuah bisnis kecil tetapi berpotensi besar untuk berkembang dan
keuntungannya cukup besar.
Bulan berganti bulan, alhamdulillah
bisnis kami berkembang pelan tapi pasti. Menginjak tahun ketiga (2007),
setelah dihitung-hitung, ternyata laba bulanan perusahaan sudah cukup
untuk membiayai satu keluarga untuk tholabul ilmi walaupun dengan
standar hidup sederhana. Kami bicarakan rencana kami untuk mondok dengan
anak-anak, awalnya mereka ragu karena khawatir pendidikannya tidak bisa
berlanjut karena Abahnya (Bapaknya) mondok, tidak bekerja. Kami
yakinkan bahwa Alloh Mahakaya, mampu memberi rezeki dari jalan yang
tidak disangka-sangka. Alhamdulillah, mereka bisa menerima dan mau
bersiap-siap untuk hidup lebih sederhana, bahkan sempat menghadiahkan
untuk kami buku kecil yang berjudul ‘Perjalanan Ulama dalam Menuntut
Ilmu’ karya Abu Anas Majid al-Bankani, buku yang sangat berkesan bagi
kami waktu itu dan semakin membuat bulat tekad kami untuk segera memulai
rihlah (menempuh jalan) untuk tholabul ilmi.
Akhirnya kami pun berangkat sekeluarga,
meninggalkan kampung halaman. Rumah idaman yang telah kami bangun untuk
sementara kami tinggalkan, menuju pondok pesantren al-Furqon, Gresik.
Kami mulai dengan mengikuti dauroh (Kajian Khusus) Bahasa Arab tahun
2007, padahal anak kami yang kedua telah mengikuti dauroh yang sama pada
tahun 2006 dengan kelas/tingkatan yang sama pula.
Awalnya terasa agak aneh juga. Kami duduk
sebangku dengan anak-anak yang usianya di bawah 20 tahunan, seusia
dengan anak kami. Tapi masya Alloh, rasa nikmat mendapat ilmu dien tidak
bisa kami lukiskan, bahkan membuat kami merasa benar-benar ‘seperti
muda’. Kesulitan fisik yang ada, yaitu adaptasi dengan tempat tinggal
yang baru, rumah yang lebih kecil, perabot yang lebih sederhana, pola
hidup yang lebih sederhana dan kondisi air yang kurang bersahabat dengan
kulit anak dan istri, seperti tidak terasa karena saking besarnya
kenikmatan yang Alloh berikan itu.
Subhanalloh, sungguh kenikmatan menuntut
ilmu agama di usia tua ini sulit kami gambarkan. Ibarat orang yang sudah
lama menunggu datangnya kekasih, lalu tibalah saat perjumpaan.
Hari-hari indah penuh makna kami jalani. Taman-taman bunga dari majelis
ilmu kami singgahi.
Tambahnya ilmu pengetahuan dienulloh yang
murni ini, kenikmatannya tiada tara, belum pernah kami merasakan
kenikmatan seperti ini sebelumnya, tidak seperti makanan yang jika kita
makan setiap hari akan bosan, tidak pula seperti baju baru yang jika
kita pakai setiap hari akan lusuh. Sungguh, kami katakan,
“Seseorang
tidak akan dapat merasakan cita-rasa lezatnya agama yang suci ini dengan
tanpa mengambilnya dari sumber-sumber aslinya yang berbahasa Arab”.
Kini, alhamdulillah anak dan istri juga
‘nyantri’ semua, tholabul ilmi syar’i. Dan kami ingin tetap dalam jalan
tholabul ilmi hingga maut menjemput, insya Alloh. Dan insya Alloh tahun
ajaran baru mendatang salah satu rekan syirkah kami sekeluarga akan
menyusul kami, karena alhamdulillah usaha kami kini sudah cukup untuk
membiayai dua keluarga. Dan semoga rekan kami yang ketiga juga bisa
segera menyusul.
Segala puji bagi-Mu, ya… Alloh, atas
segala nikmat-Mu yang tak kan mampu kami hitung. Semoga Alloh juga akan
memberikan kesempatan kepada Anda, para pembaca al-Mawaddah, untuk dapat
menuntut ilmu syar’i dengan washilah (perantara) bisnis syirkah Anda
bersama rekan seiman. Amin.
Sumber : http://almawaddah.wordpress.com