”Bagaimana cara saya harus  memaafkan perlakuan dia  yang  sangat  menyakiti hati saya? Pertanyaan seperti ini sering muncul saat  ada orang-orang yang mengatakan, lupakan, tidak usah diingat, yang lalu   biarkan berlalu.  Tatap ke depan, mungkin bukan dia yang terbaik dan  seribu satu macam masukan yang lain Saya sering bertanya pada diri  sendiri kenapa musti berakhir dengan cara seperti ini?” Apakah  saya  sudah mampu memaafkan dia? Seandainya saya maafkan apakah dia sutdah  menyadari kesalahan yang sudah dia buat? Apakah dengan memaafkan dia aku  bisa lebih tegar?
 
Arti maaf
Dari jawaban umum, kita bisa mengartikan memaafkan sebagai mengampuni kesalahan, tidak mendendam, memberi remisi, atau pembebasan .
Secara psikologis 
memaafkan merupakan proses menurunnya motivasi membalas dendam dan menghindari interaksi
dengan orang yang telah menyakiti sehingga cenderung mencegah seseorang berespons destruktif dan mendorongnya bertingkah laku konstruktif dalam hubungan sosialnya (Cullough, Worthington, Rachal, 1997).
Dari contoh pertanyaan-pertanyaan di atas terlihat banyak kejadian menyakitkan hati akibat dicaci, dibohongi, ditipu, atau dikhianati orang lain, yang membuat kita sering sulit memberi maaf. Mengapa?
Fiksi
Menurut Janis Spring (1996), ada lima anggapan keliru tentang memaafkan yang mungkin membuat kita berhenti belajar melakukannya.
1. Pemaafan terjadi secara total dan sekaligus.
2. Ketika Anda memaafkan, perasaan negatif terhadap orang lain berganti menjadi perasaan positif.
3. Ketika memaafkan seseorang, Anda mengakui perasaan negatif Anda padanya adalah salah atau tak dapat dibenarkan.
4. Bila Anda memaafkan, Anda tidak akan mendapat imbalan apa pun.
5. Bila Anda memaafkan seseorang, Anda melupakan luka hati Anda.
Dengan memercayai fiksi-fiksi tersebut, maka sepertinya tingkah laku memaafkan jauh untuk bisa kita jangkau dan membuat kita jadi berpikir hanya orang suci atau nabilah yang dapat melakukannya karena harus dilakukan tanpa syarat, secara total, dan dengan cara mengorbankan diri pribadi.
Fakta
Padahal menurut Spring, ahli psikologi klinis dari Yale University,  AS, memaafkan bukanlah tindakan yang bersih murni dan tidak mementingkan  diri sendiri. Memaafkan adalah bagian dari proses yang dimulai ketika  kita berbagi rasa sakit hati setelah peristiwa menyakitkan berakhir dan  akan berkembang begitu kita punya pengalaman mengoreksi diri, yang  membangun kembali rasa percaya dan keakraban terhadap orang lain.
Untuk memperbaiki dugaan keliru tadi, kita perlu melihat kenyataan  yang sesungguhnya terjadi pada kita sebagai manusia biasa agar dapat  lebih mudah belajar memaafkan kesalahan.
Fakta 1. Proses memaafkan selalu berlangsung perlahan dan berlanjut  sepanjang hubungan kita dengan orang tersebut. Mungkin saat ini kita  hanya dapat memaafkan kesalahan seseorang sebanyak 10 persen, dan begitu  kita membina hubungan kembali kita mungkin dapat menambah dengan 70  persen, tetapi tak pernah lebih banyak lagi. Hal di atas sah-sah saja. Kita tak perlu menjadi orang baik bila kita  memaafkan secara total, kita juga tak perlu menjadi jahat bila tak bisa  melakukannya. Kita hanya dapat memberi apa yang mampu kita berikan dan  apa yang orang lain peroleh.
Fakta 2. Beberapa orang mungkin bertahan untuk memaafkan karena  melihatnya sebagai ”penghentian permusuhan/dendam”, suatu kondisi di  mana kepahitan lenyap digantikan rasa cinta dan kasih. Padahal  sebenarnya tak ada orang mampu mencapai kondisi seperti itu. Dalam hidup, luka psikis tak pernah sepenuhnya sembuh atau menghilang,  ataupun secara ajaib digantikan hal positif lain. Yang benar, seperti  halnya cinta yang matang, memaafkan membolehkan adanya pertimbangan  serempak antara perasaan yang bertentangan, gabungan dari rasa benci dan  cinta. Bila kita memaafkan, kebencian kita tetap ada, tetapi diimbangi  dengan kenyataan orang yang menyakiti tidaklah begitu buruk ataupun kita  yang telah sangat naif.
Fakta 3. Sebenarnya, dengan memaafkan bukan berarti kita mengingkari  kesalahan pelaku atau ketidakadilan yang telah terjadi, tetapi hanya  membebaskannya dari ganti rugi (retribusi).
Fakta 4. Beberapa orang tak mau memaafkan karena berpikir, ”Mengapa  saya harus membebaskan seseorang dari kewajiban memperbaiki  kesalahannya?”Padahal, dengan memaafkan tidak berarti kita lemah atau harus membuat  orang lain jadi tidak bertanggung jawab. Bila tujuan kita  berekonsiliasi, memaafkan memerlukan penebusan dari pelaku. Pemaafan  yang sesungguhnya tak bisa diberikan sampai pelaku membayarnya melalui  pengakuan, penyesalan, dan penebusan.
Fakta 5. Yang benar, bagaimanapun orang yang disakiti tak pernah akan  lupa seperti apa kita telah diperdaya atau dikhianati, apakah kita  memaafkan atau tidak. Setelah bertahun-tahun berlalu, kita akan tetap bisa mengingatnya,  tetapi hanya sebagai bagian dari suatu gambaran/potret yang juga  melibatkan masa-masa kebersamaan lain yang lebih positif dengan pelaku.
Agustin Dwiputri Psikolog
 Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/21/01405582/belajar.untuk.memaafkan